- Back to Home »
- Pencemaran Nama baik (Defamation)
Posted by : cybercrewblog
25/04/14
Sampai saat ini belum ada
definisi hukum di Indonesia yang tepat dan jelas tentang apa yang disebut
pencemaran nama baik. Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik
diartikan sebagai defamation,
slander, libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation)
diterjemahkan menjadi pencemaran nama baik, fitnah (lisan), fitnah
(tertulis) adalah oral defamation (fitnah secara lisan)
sedangkan libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam
bahasa Indonesia sendiri hingga kini belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel.
Pencemaran
Nama Baik Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Meskipun masih dalam suatu proses perdebatan,
ketentuan-ketentuan tentang penghinaan
yang terdapat dalam Bab XVI, Buku II KUHP dianggap masih sangat relevan.
Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan
sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang.
Perkembangan awal pengaturan tentang
hal ini telah dikenal sejak era 500 SM pada rumusan “twelve tables” di era Romawi kuno. Akan tetapi, pada saat itu ketentuan
ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan
hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era Kekaisaran Agustinus (63
SM) peradilan kasus defamation
(lebih sering disebut libelli famosi) terus meningkat secara
signifikan. Dan, penggunaan aturan ini kemudian secara turun-temurun diwariskan
pada beberapa sistem hukum di negara-negara
lain, termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, serta Prancis sebagai
salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law).
Di Indonesia, pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dominan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indie
yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (W.v.S). KUHP Belanda yang diberlakukan
sejak 1 September 1886 itu pun merupakan kitab undang-undang yang cenderung
meniru pandangan Code Penal-Prancis yang sangat banyak dipengaruhi
sistem hukum Romawi. Secara sederhana, dapat dikatakan terdapat sebuah
jembatan sejarah antara ketentuan tentang penghinaan yang diatur dalam KUHP
Indonesia dengan perkembangan historis awal tentang libelli famosi di masa
Romawi Kuno.
Dalam KUHP pencemaran nama baik
diistilahkan sebagai penghinaan/penistaan terhadap seseorang yang terdapat
dalam Bab XVI, Buku I KUHP khususnya pada Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal
317 dan Pasal 318 KUHP. Pasal Pidana terhadap perbuatan penghinaan terhadap seseorang,
secara umum diatur dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (1), Pasal 315, Pasal 317
ayat (1) dan Pasal 318 ayat (1) KUHP yang menyebutkan :
Pasal 310
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan
jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan
tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya
sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar
yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya
satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-.
(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa
sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu
untuk mempertahankan dirinya sendiri.
Pasal 311 ayat (1)
Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista
dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya
sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
Pasal 315
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak
bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang
baik ditempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun dihadapan orang
itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan
atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp
4.500,-.
Pasal 317 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh
menuliskan surat pengaduan atas pemberitahuan yang palsu kepada pembesar negeri
tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang itu jadi
tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah, dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.
Pasal 318 ayat (1)
Barangsiapa dengan sengaja dengan melakukan sesuatu
perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan sesuatu perbuatan
yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah, dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.
R. Soesilo menerangkan apa yang
dimaksud dengan “menghina”, yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang” dimana yang diserang biasanya merasa “malu”. “Kehormatan” yang
diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang “nama baik”, bukan
“kehormatan” dalam lapangan seksuil.
Menurut R. Soesilo, penghinaan dalam KUHP ada 6 macam
yaitu :
1. menista secara lisan (smaad);
2.
menista dengan surat/tertulis (smaadschrift);
3.
memfitnah (laster);
4.
penghinaan ringan (eenvoudige belediging);
5.
mengadu secara memfitnah (lasterlijke aanklacht);
6.
tuduhan secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Semua penghinaan di atas hanya dapat
dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang menderita/dinista/dihina (dalam
hukum pidana dikenal dengan istilah delik aduan), kecuali bila penghinaan itu
dilakukan terhadap seorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan
pekerjaannya secara sah dimana untuk hal ini pada dasarnya tidak diperlukan
atau dibutuhak aduan dari korbannya.
Obyek dari penghinaan tersebut
harus manusia perseorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus
suatu perkumpulan, segolongan penduduk dan lain-lain. Bila obyeknya bukan
perseorangan, maka dikenakan pasal-pasal khusus seperti : Pasal 134 dan Pasal
137 KUHP (penghinaan pada Presiden atau Wakil Presiden) yang telah dihapuskan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP
(penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia).
Berdasarkan Pasal 310 ayat (1) KUHP,
penghinaan yang dapat dipidana harus dilakukan dengan cara “menuduh
seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu”, dengan maksud
tuduhan itu
akan tersiar (diketahui orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan tidak
perlu suatu
perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzinah,
dan sebagainya. Perbuatan tersebut cukup perbuatan biasa, yang
sudah tentu merupakan perbuatan yang memalukan, misalnya menuduh bahwa
seseorang telah berselingkuh. Dalam hal ini bukan perbuatan yang boleh
dihukum,
akan tetapi cukup memalukan bagi yang berkepentingan bila diumumkan.
Tuduhan
tersebut harus dilakukan dengan lisan, apabila dilakukan dengan tulisan
(surat)
atau gambar, maka penghinaan itu dinamakan “menista/menghina dengan
surat (secara tertulis)”, dan
dapat dikenakan Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Penghinaan menurut Pasal 310 ayat
(1) dan (2) diatas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan
atau penghinaan itu dilakukan untuk membela “kepentingan umum” atau terpaksa
untuk “membela diri”. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan
diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim.
Untuk kejahatan memfitnah menurut
Pasal 311 KUHP, tidak perlu dilakukan dimuka umum, sudah cukup bila dapat
dibuktikan bahwa ada maksud untuk menyiarkan tuduhan tersebut. Jika penghinaan
itu berupa suatu pengaduan yang berisi fitnah yang ditujukan kepada Pembesar/pejabat
yang berwajib, maka dapat dikenakan pidana Pasal 317 KUHP.
Menurut Prof. Muladi, Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Diponegoro bahwa yang bisa melaporkan pencemaran nama
baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang
kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di
depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan
pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik.
Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan Kedua, untuk membela diri. Ketiga,
untuk mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan informasi,
secaralisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa
tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya
penistaan atau fitnah.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
Pasal-pasal dalam Bab XVI Buku I KUHP tersebut hanya mengatur penghinaan atau
pencemaran nama baik terhadap seseorang (perseorangan/individu),
sedangkan penghinaan atau pencemaran nama baik terhadap instansi pemerintah, pengurus
suatu perkumpulan, atau segolongan penduduk, maka diatur dalam
pasal-pasal khusus, yaitu :
1. Penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP), pasal-pasal
ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi;
2. Penghinaan
terhadap kepala negara asing (Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP);
3. Penghinaan
terhadap segolongan penduduk/kelompok/organisasi (Pasal 156 dan Pasal 157
KUHP);
4. Penghinaan
terhadap pegawai agama (Pasal 177 KUHP);
5. Penghinaan
terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia (Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP).
Selain sebagaimana yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), berkaitan dengan “pencemaran nama
baik” juga diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam UU No. 32 Tahun 2002, Pasal 36 ayat (5)
menyebutkan bahwa :
“Isi siaran
dilarang :
a.
bersifat
fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;
b.
menonjolkan
unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;
atau
c.
mempertentangkan
suku, agama, ras, dan antargolongan.”pencemaran nama baik
Contoh Kasus pencemaran nama baik
Yang menarik dari Hukuman atau sanksi untuk beberapa kasus seseorang yang terlibat dalam ‘Illegal content’ ini ialah hanya penyebar atau yang melakukan proses unggah saja yang mendapat sanksi sedangkan yang mengunduh tidak mendapat hukuman apa - apa selain hukuman moral dan perasaan bersalah setelah mengunduh file yang tidak baik.